Assalamualaikum selamat pagi semua semoga tetap semangat dan dalam keadaan sehat
melanjutkan materi kita kemarin tentang kerajaan kerajaan islam di pulai jawa, hari ini kita akan mempelajari 3 kerajaan / kesultanan Islam di pulau jawa
di simak yah materinya
Kerajaan Banten / Kesultanan banten
Kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa. Kerajaan ini menguasai wilayah Banten yang terletak di barat Pulau Jawa. Sebelumnya wilayah Banten merupakan bagian dari Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu. HJ de Graaf dalam bukunya Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa (1985) menuturkan kerajaan Banten berdiri di abad ke-16. Pada tahun 1524 atau 1525, Nurullah dari Pasai yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati berlayar dari Demak ke Jawa Barat. Saat itu, pusat pengembangan agama Islam di Jawa masih terpusat di Demak. Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin melebarkan pengaruh Islam ke barat Pulau Jawa.Saat itu, Kerajaan Sunda bersekutu dengan Portugis. Namun dibantu oleh tentara Demak, Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin menyingkirkan Bupati Sunda untuk mengambil alih Banten. Dalam Ragam Pusaka Budaya Banten (2007), Sunan Gunung Jati dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten. Namun ia tak mengangkat dirinya sebagai raja. Sunan Gunung Jati memilih menjadi Sultan Cirebon. Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Ia diangkat sebagai Sultan Banten pada 1552. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Banten mengalami perkembangan pesat. Banten melepaskan diri dari Demak. Banten juga menjadi pusat perdagangan di barat Pulau Jawa.
Setelah Sultan Hasanuddin, raja-raja yang pernah memerintah yakni:
Maulana Yusuf (1570-1585)
Maulana Muhammad (1585-1596)
Sultan Abdul Muafakir (1596-1651)
Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683)
Di bawah Maulana Yusuf, Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu juga takluk pada 1579.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Di bawah kepemimpinannya, Banten melawan VOC yang ingin memonopoli perdagangan.
Sayangnya, Sultan Ageng Tirtayasa gagal mengalahkan VOC karena dikhianati putranya Sultan Haji. Sultan Haji membantu VOC. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Banten pada 1683.
Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda atau Jawa Barat. Sejarah kerajaan yang wilayahnya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara lalu Pajajaran ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, tepatnya tahun 1430. Awalnya, Cirebon merupakan daerah bernama Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang. Kerajaan Cirebon dirintis oleh Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), putra Raja Pajajaran dari Kerajaan Sunda Galuh, yakni Prabu Siliwangi dengan permaisurinya, Nyai Subang Larang. Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon (1978) menyebutkan bahwa pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang yang beragama Islam melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, Nyai Lara Santang, dan Raden Kian Santang atau Pangeran Sengara.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Cirebon
Setelah beranjak dewasa, ketiga anak Prabu Siliwangi dari permaisuri Nyai Subang Larang dipersilakan meninggalkan Kerajaan Pajajaran yang menganut ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, atau Buddha. Putra sulung Prabu Siliwangi dari permaisuri, Raden Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana, kehilangan haknya untuk bertakhta di Pajaran karena memilih memeluk agama Islam seperti ibunya. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana memilih untuk memperdalam agama Islam ke Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir, lalu diikuti oleh adiknya, Lara Santang. Dalam perjalanan, Raden Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis.
Sesampainya di Kebon Pesisir, mereka berguru kepada Syekh Nurul Jati. Di daerah pesisir utara Jawa inilah Raden Walangsungsang mendirikan pedukuhan sebagai cikal-bakal Kerajaan Cirebon. Setelah mendirikan pedukuhan, Raden Walangsungsang dan Lara Santang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Di perjalanan, Lara Santang menikah dengan Syarif Abdillah bin Nurul Alim. Dari pernikahan ini, Nyai Lara Santang melahirkan dua orang anak laki-laki bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sepulang dari tanah suci, dikutip dari Susilaningrat dalam Dalem Agung Pakungwati Kraton Kasepuhan Cirebon (2013), Raden Walangsungsang kembali ke pedukuhan dan mendirikan pemerintahan yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan atau Kesultanan Cirebon pada 1430 Masehi. Pendirian Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Demak di Jawa Tengah yang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa sekaligus sebagai kerajaan yang memungkasi riwayat Kerajaan Majapahit. Heru Erwantoro dalam "Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon" yang termaktub di jurnal Patanjala (2012) menyebutkan Walangsungsang alias Cakrabuana wafat pada 1479. Tampuk kekuasaan kemudian dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah. Seperti diketahui, Syarif Hidayatullah adalah keponakan Raden Walangsungsang atau putra pertama dari adiknya, Nyai Lara Santang. Syarif Hidayatullah pada akhirnya dikenal sebagai Sunan Gunung Jati (1479-1568).
Kejayaan Kesultanan Cirebon
Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Djati, Kesultanan Cirebon mencapai kemajuan pesat, baik di bidang agama, politik, maupun perdagangan. Dalam bidang agama sangat jelas terlihat bahwa Islamisasi berjalan sangat masif. Dakwah agama Islam ke berbagai wilayah terus-menerus dilakukan. Sedangkan di sektor politik, perluasan daerah menjadi salah satu fokus yang dijalankan. Bersama Demak, misalnya, Cirebon mampu merebut pelabuhan Sunda Kelapa pada 1527 untuk membendung pengaruh Portugis. Selain itu, tulis Heru Erwantoro dalam "Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon" di jurnal Patanjala (2012), Sunan Gunung Jati menerapkan sistem politik yang didasarkan atas asas desentralisasi yang berpola kerajaan pesisir. Strategi politik desentralisasi itu dilakukan dengan menerapkan program pemerintahan yang bertumpu pada intensitas pengembangan dakwah Islam ke seluruh wilayah bawahannya di tanah Sunda. Usaha ini didukung oleh perekonomian yang kuat dengan menitikberatkan pada perdagangan dengan berbagai bangsa seperti Campa, Malaka, India, Cina, hingga Arab.
Keruntuhan Kesultanan Cirebon Sepeninggal Sunan Gunung Jati yang wafat pada 1568, Kesultanan Cirebon mulai diincar bangsa-bangsa asing, terutama Belanda alias VOC. Setelah terlibat polemik selama bertahun-tahun, akhirnya Cirebon menyerah. Dikutip dari buku Sejarah Daerah Jawa Barat (1982) terbitan Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan RI, pada 1681 ditandatangani perjanjian antara para pemegang otoritas Cirebon dengan Belanda. Perjanjian tersebut membuat VOC berhak memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon. Selain itu, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi protektorat yang berada wilayah di bawah naungan Belanda. Antara tahun 1906 hingga 1926, Belanda secara resmi menghapus kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon. Cirebon terbebas dari cengkeraman Belanda pada 1942 dan akhirnya menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak 1945.
Kesultanan Mataram Islam
Kesultanan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan bercorak Islam terbesar dalam sejarah Nusantara yang pernah berdiri di Jawa. Lantas, siapa pendiri Mataram Islam dan di daerah mana letak atau lokasi kerajaan ini? Wilayah Mataram semula merupakan bagian dari Kesultanan Pajang yang melanjutkan garis penerus Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Pusat pemerintahan Kesultanan Pajang berada di Surakarta atau Solo. Sejak abad ke-16 Masehi, tepatnya tahun 1586, wangsa Mataram di bawah pimpinan Danang Sutawijaya alias Panembahan Senapati berhasil menyatukan beberapa wilayah untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Pajang. Hingga akhirnya, Kesultanan Pajang menyerahkan kekuasaan kepada Panembahan Senapati yang sekaligus menjadi awal riwayat berdirinya kerajaan baru bernama Kesultanan Mataram Islam. Jauh sebelumnya pada abad ke-8 Masehi, di Jawa juga pernah berdiri Kerajaan Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha dan berbeda zaman dengan Kesultanan Mataram Islam. Meskipun demikian, jika ditelusuri lebih rinci, dua kerajaan ini masih terhubung dalam satu garis riwayat nan panjang.
Sejarah Awal Mataram Islam
Riwayat Kesultanan Mataram Islam bermula dari tanah perdikan berupa hutan yang dikenal sebagai alas Mentaok yang diberikan pemimpin Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijaya (1560-1582) atau Jaka Tingkir, kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan adalah pendiri Wangsa Mataram yang juga ayah dari Panembahan Senapati atau Sutawijaya. Ki Ageng Pemanahan merupakan cucu Ki Ageng Selo yang dipercaya masih memiliki keturunan dari garis raja-raja Majapahit dan Kerajaan Mataram Kuno. Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai balas jasa karena telah membantu memadamkan perlawanan Arya Penangsang dari Kerajaan Jipang. Dikutip dari M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern1200-2004 (2005), perlawanan terhadap Pajang dimotori oleh Danang Sutawijaya alias Panembahan Senapati yang tidak lain adalah putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Perlawanan tersebut terjadi pada masa pemerintahan Sultan Pajang ke-3, yakni Pangeran Benawa atau Sultan Prabuwijaya (1586-1587). Panembahan Senapati melancarkan perlawanan terhadap Pajang sejak tahun 1578.
Lokasi Pendirian Mataram Islam
Pada 1584, Panembahan Senapati mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Mataram Islam di alas Mentaok meskipun belum diakui oleh Pajang. Alas Mentaok adalah wilayah yang kini dikenal sebagai Yogyakarta. Hingga akhirnya, Kesultanan Pajang benar-benar runtuh pada 1587 dan mengakui keberadaan Kesultanan Mataram Islam. Panembahan Senapati sebagai pendiri pemerintahan Mataram Islam kemudian menobatkan diri sebagai raja atau sultan pertama bergelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama (1587-1601). Adapun lokasi berdirinya Kesultanan Mataram Islam, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah di bekas alas Mentaok, dengan pusat pemerintahannya disebut dengan nama Kutagede atau Kotagede di Yogyakarta. Keberhasilan Panembahan Senapati memerdekakan Mataram dari cengkeraman Pajang merupakan langkah penting bagi riwayat kesultanan ini di masa-masa selanjutnya hingga mencapai puncak kejayaan.
Kepemimpinan Panembahan SenapatiSoekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (1981) memaparkan, Panembahan Senapati mulai memperluas wilayah kekuasaan Mataram Islam secara masif, terutama di sepanjang Bengawan Solo hingga ke Jawa bagian timur, juga sebagian Jawa bagian barat. Sejak tahun 1590, berturut-turut Jipang (Solo), Madiun, Kediri, Ponorogo, Jagaraga (Magetan), dan Pasuruan, dapat ditaklukkan. Di kawasan barat, Cirebon dan Galuh (sekitar Ciamis) menjadi bagian dari Mataram Islam pada 1595. Namun, upaya Panembahan Senapati untuk menguasai Banten pada 1597 gagal lantaran kurangnya transportasi air. Panembahan Senapati wafat pada 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, Yogyakarta. Penerusnya adalah Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar sebagai Susuhunan Hanyakrawati, ayah dari Sultan Agung. Kelak, Kesultanan Mataram Islam berhasil menancapkan hegemoni kekuasaan di Jawa dengan wilayah kekuasaan yang amat luas, kekuatan militer yang besar, serta kemajuan di berbagai bidang kehidupan.
Kejayaan Mataram Islam masa Sultan Agung
Sejarah puncak kejayaan Kesultanan Mataram Islam terjadi pada era Sultan Agung Hanyakrakusuma pada 1613 hingga 1645 Masehi. Sosok bernama muda Raden Mas Rangsang ini adalah cucu pendiri Kesultanan Mataram Islam, Panembahan Senopati (1587-1601 M). Panembahan Senopati mendeklarasikan Kesultanan Mataram Islam pada 1584 M di alas Mentaok atau Yogyakarta. Panembahan Senopati akhirnya dinobatkan pada 1587 M dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa Menurut Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (1981), di bawah pimpinan Panembahan Senopati, Kesultanan Mataram Islam berhasil menguasai beberapa wilayah di sekitar Bengawan Solo, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Tahun 1601, Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Raden Mas Jolang atau Prabu Hanyakrawati. Pada 1613, Prabu Hanyakrawati meninggal dunia karena mengalami kecelakaan sewaktu berburu rusa di hutan Krapyak. Raja penerus takhta Mataram Islam selanjutnya pun harus segera ditetapkan.Semasa hidup, Prabu Hanyokrowati sempat berpesan agar takhta Mataram diserahkan kepada Raden Mas Rangsang. Namun, karena suatu janji, maka takhta harus diserahkan kepada putra Prabu Hanyakrawati lainnya yang bernama Raden Mas Wuryah, meskipun hanya satu hari sebagai simbolis menepati janji. Maka, Raden Mas Wuryah yang menyandang kebutuhan khusus dinobatkan menjadi raja dengan gelar Adipati Martapura. Sehari kemudian, Raden Mas Rangsang menggantikan Adipati Martapura sebagai penguasa Kesultanan Mataram Islam dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Setahun setelah menjabat, Sultan Agung memulai operasi penaklukkan sejumlah wilayah di Jawa untuk memperluas daerah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam. Perjalanan pertama dimulai ke Timur Jawa. Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 (1993:131) menerangkan, pada 1614, Sultan Agung meluncurkan aksi penyerangan ke daerah Timur. Sultan Agung memberikan perintah kepada Tumenggung Suratani yang akhirnya berhasil menguasai Malang dan sekitarnya. Atas pencapaian itu, Tumenggung Suratani dianugerahi gelar Senopati Menggala Yuda. Selanjutnya, tahun 1615, Sultan Agung mengirim pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Martalaya untuk mengambil-alih kekuasaan wilayah Wirasaba (kini wilayah Karesidenan Banyumas).
Pada Januari 1616 atau setahun berselang, Kesultanan Mataram Islam diserang oleh beberapa wilayah yang menjalin aliansi termasuk Pasuruan dan Tuban. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1991:85), menyebutkan, pertempuran tersebut Mataram Islam. Sepanjang tahun 1616-1619, Sultan Agung juga melakukan ekspansi ke wilayah Lasem, Pasuruan, dan Tuban. Tumenggung Martalaya dan Tumenggung Jaya Supanta berperan aktif dalam misi ini yang menuai keberhasilan ini. Misi menaklukkan Surabaya boleh dikatakan paling sulit dan berlangsung cukup lama yakni pada 1620-1625. Sultan Agung akhirnya menerapkan strategi untuk melemahkan Surabaya. Rantai distribusi makanan ke Surabaya dari beberapa wilayah yang sudah menjadi taklukan Mataram diputus. Pada 1625, Surabaya takluk dengan sendiri karena kehabisan bahan pangan.
Di bawah pimpinan Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda alias VOC. Bahkan, Mataram dua kali menyerang pusat VOC di Batavia yakni pada 1628 dan 1629 meskipun belum berhasil dengan gemilang. Kendati begitu, serbuan kedua Mataram Islam ke Batavia berhasil membendung serta mencemari Sungai Ciliwung. Akibatnya, wabah kolera melanda Batavia. Gubernur Jenderal VOC kala itu, J.P. Coen, menjadi korban wabah tersebut dan meninggal dunia. Sultan Agung wafat di Karta (ibu kota Kesultanan Mataram Islam atau yang kini berada di Pleret, Yogyakarta) pada 1645 M. Sepeninggal Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam mulai mengalami kemunduran dan nantinya terpecah-belah serta bisa dipengaruhi oleh Belanda.
Keruntuhan Mataram Islam
Sejak 1646, Raden Mas Sayidin menggantikan posisi ayahnya, Sultan Agung, yang wafat tahun 1646. Raden Mas Sayidin dinobatkan sebagai Sultan Mataram Islam ke-5 dengan gelar Susuhunan Amangkurat I. Berbeda dengan Sultan Agung yang gigih melawan Belanda, Amangkurat I justru bersikap lebih lunak terhadap kaum penjajah. Tahun 1646, misalnya, Amangkurat I menjalin perjanjian dengan VOC. Isi perjanjian tersebut antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diperbolehkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Dalam Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017), Joko Darmawan menerangkan, cara memerintah Amangkurat I tidak disetujui oleh beberapa kalangan, termasuk adiknya yang bernama Raden Mas Alit. Raden Mas Alit, adik Amangkurat I, tidak setuju dengan caranya memerintah dan meluncurkan aksi perlawanan. Tahun 1647, ibu kota Kesultanan Mataram Islam dipindahkan dari Kotagede ke Plered, masih termasuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekarang. Pemberontakan Raden Mas Alit berpuncak pada 1678 yang berakhir dengan tewasnya adik Amangkurat I itu dan menelan ribuan korban jiwa.
Berikutnya, giliran salah satu anak Amangkurat I, Raden Mas Rahmat atau Pangeran Adipati Anom, yang bergolak. Adipati Anom sejatinya berstatus sebagai putra mahkota, namun ada kabar yang menyebutkan bahwa gelar tersebut akan dialihkan kepada anak Amangkurat I lainnya yakni Pangeran Singasari. Pangeran Adipati Anom pun merencanakan pemberontakan terhadap takhta ayahnya. Ia kemudian mengajak Trunojoyo, putra penguasa Madura, untuk melaksanakan misi tersebut pada 1670. Mien A. Rifai dalam Manusia Madura (2007), menjelaskan, Trunojoyo menyanggupi karena ia ingin Madura merdeka dari penguasaan Kesultanan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Amangkurat I.
Pada 1674, Trunojoyo mendeklarasikan kemerdekaan Madura. Ia menjadi raja di Madura bahkan berniat mengambil-alih kekuasaan Mataram. Pasukan Trunojoyo mendapat bantuan dari orang-orang Bugis/Makassar yang lari ke Jawa setelah Perjanjian Bungaya yang melemahkan Kesultanan Gowa era Sultan Hasanuddin. Buku Catatan Masa Lalu Banten (1999) karya Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari menjelaskan, Kesultanan Banten juga ikut mendukung Trunojoyo. Dalam Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2006), Mundzirin Yusuf menambahkan, Panembahan Giri dari Surabaya ikut memberi dukungan karena peristiwa pembantaian ulama dilakukan Amangkurat I pada 1649.
Pasukan Trunojoyo menjelma menjadi kekuatan besar yang menakutkan. Satu demi satu, wilayah-wilayah Mataram ditundukkan, termasuk Surabaya, Tuban, Lasem, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon. Puncaknya, Trunojoyo pun bersiap menyerang pusat kekuasaan Mataram di Yogyakarta. Situasi ini justru membuat Pangeran Adipati Anom cemas karena khawatir ambisi Trunojoyo tidak bisa dibendung. Maka, pada Oktober 1676, Pangeran Adipati Anom berbalik mendukung ayahnya, Amangkurat I. Trunojoyo terlalu kuat. Amangkurat I melarikan diri ketika Trunojoyo menyerang Plered. Dalam Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (1997), Sutrisno Kutoyo mengungkapkan, dalam pelarian, Amangkurat I sakit dan meninggal dunia di sekitar Tegal, Jawa Tengah. Tahun 1677, Trunojoyo menguasai pusat pemerintahan Mataram, bahkan menikahi salah satu putri Amangkurat I yang saat itu ditawan.
Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerja sama dengan VOC untuk menumpas Trunojoyo sekaligus merebut kembali takhta Mataram Islam. Kompeni bersedia membantu tapi dengan syarat. Berkat bantuan VOC, Trunojoyo berhasil dilumpuhkan pada 1679. Penguasa Madura itu lalu dijatuhi hukuman mati. Sesuai kesepakatan, takhta Kesultanan Mataram Islam diberikan kepada Pangeran Adipati Anom dengan gelar Susuhan Amangkurat II, namun VOC menjadi lebih leluasa mencampuri urusan internal kerajaan. Amangkurat II tidak melanjutkan Kesultanan Mataram Islam. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Kasunanan Kartasura dengan pusatnya di dekat Solo, Jawa Tengah, pada 1680.
Daftar Raja Mataram Islam
- Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati (1587-1601)
- Raden Mas Jolang atau Prabu Hanyakrawati (1601-1613)
- Raden Mas Wuryah atau Adipati Martapura (1613)
- Raden Mas Jatmika atau Sultan Agung (1613-1645)
- Raden Mas Sayidin atau Amangkurat I (1646-1677)
Demikian Penjelasan tentang Kesultanan Banten, Kesultanan Cerebon dan Kesultanan Mataram Islam